Summary Jurnal Sensori Integrasi: Dasar dan Efektivitas Terapi

Sensori Integrasi: Dasar dan Efektivitas Terapi
Jurnal IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) Tahun 2011



Sensori integrasi merupakan proses mengenal, mengubah, membedakan sensasi dari sistem sensori untuk menghasilkan suatu respon berupa “Perilaku Adaptif Bertujuan”.
Adanya gangguan pada keterampilan dasar seperti sensasi melihat, mendengar, taktil, vestibular dan proprioseptif ini dapat menimbulkan kesulitan untuk mencapai keterampilan yang lebih tinggi. Gangguan pada pemrosesan sensori ini dikenal sebagai: Disfungsi Sensori Integrasi. Presentasi gangguan Sensori Integrasi ini berkisar 5% - 10% pada anak normal tanpa cacat dan mencapai 40% - 88% pada anak dengan berbagai kecacatan. Pada gangguan ini input sensori dari lingkungan dan dari dalam tubuh bekerja masing-masing, sehingga anak tidak mengetahui apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

Dasar Teori Sensori Integrasi
Dasar teori sensori integrasi adalah:
1.    Plastisitas sistem saraf pusat atau kemampuan sistem saraf untuk beradaptasi dengan input sensori yang lebih banyak.
2.    Konsep progresi perkembangan, sensori integrasi terjadi pada saat anak mulai berkembang dan menguasai input sensori secara alami. Seperti fungsi vestibular yang muncul pada usia gestasi 9minggu dan membentuk refleks moro. Sedangkan input taktil muncul pada usia 12minggu untuk eksplorasi tangan dan mulut.
3.    Teori sistem dan organisasi sistem saraf pusat, proses sensori integrasi diyakini terjadi pada tingkat batang otak dan subkortikal. Proses yang lebih tinggi di kortikal diperlukan untuk perkembangan praktis dan produksi respon adaptif.
4.    Stimulasi sensori. Stimulasi ini menekankan pada pencapaian respons adaptif. Respon ini berbeda pada setiap anak, tergantung pada tingkat perkembangan, derajat integrasi sensori, dan tingkat keterampilan yang sudah dicapai sebelumnya.
5.    Dorongan untuk aktualisasi diri. Konsep ini merupakan hal terpenting dalam perkembangan sensori integrasi, bagaimana dorongan ini muncul dari dalam diri yang terwujud dalam bentuk kegembiraan dan eksplorasi lingkungan tanpa lelah. Tetapi motivasi internal ini kurang atau tidak dimiliki oleh anak dengan gangguan disfungsi sensori integrasi.

Gangguan Pemrosesan Sensori
Apabila input sensori tidak diintegrasi secara tepat, seorang anak akan menginterprestasikan dunia secara berbeda. Mispersepsi ini menimbulkan berbagai gangguan perkembangan dan perilaku. Gangguan pemrosesan sensori ini terbagi menjadi beberapa tipe yaitu:
1.    Sensory Modulation Disorder (SMD), pada gangguan ini anak mengalami kesulitan memberikan respon terhadap input sensori sehingga memberikan respon perilaku yang tidak sesuai. SMD dibagi menjadi 3 subtipe:
a.    Sensory Overresponsive (SOR), pada gangguan ini anak berespon lebih cepat, lebih intens dan lebih lama daripada sewajarnya.
b.    Sensory Underresponsive (SUR), anak kurang merespon atau tidak memperhatikan rangsangan sensori dari lingkungannya. Hal ini membuat anak menjadi apatis dan tidak memiliki dorongan untuk bersosialisasi dan eksplorasi.
c.    Sensory Seeking/Craving (SS), anak sering kali tidak puas terhadap input sensori yang ada sehingga akan mencari aktivitas yang menimbulkan sensasi lebih intens terhadap tubuh, seperti makan makan pedas, memutar-mutar tubuh dan bersuara keras.
2.    Sensory-Based Motor Disorder (SBMD), anak memiliki gerakan postural yang buruk. Pada disfungsi ini anak mengalami kesalahan dalam menginterpretasikan input sensori yang berasal dari sistem proprioseptif dan vestibular. Disfungsi ini memiliki 2 subtipe:
a.    Dyspraxia, yaitu anak memiliki gangguan dalam menerima dan melakukan perilaku baru juga memiliki koordinasi yang buruk pada ranah oromotor, motorik kasar dan halus.
b.    Postural Disorder, anak mengalami kesulitan untuk menstabilkan tubuh saat bergerak maupun beristirahat.
3.    Sensory Discrimination Disorder (SDD), anak mengalami kesulitan dalam menginterpretasikan kualitas rangsangan sehingga tidak dapat membedakan sensasi yang serupa. SDD pada sistem visual dan auditory dapat menyebabkan gangguan bahasa dan belajar, sedangkan pada SDD pada sistem taktil, proprioseptif dan vestibular menyebabkan gangguan kemampuan motorik.

Prinsip Terapi Sensori Integrasi
Konsensus yang disusun oleh para ahli terapi sensori integrasi di Amerika Serikat tentang elemen inti terapi sensori integrasi dan telah melakukan 34 penelitan yang dianalisis, memperlihatkan bahwa sebagian besar peneliti secara eksplisit mendeskripsikan strategi intervensi yang tidak konsisten dengan elemen inti terapi sensori integrasi. Dari 10 elemen proses, hanya 1 elemen yang digunakan disemua studi, yaitu memberikan rangsangan sensori.
Terapi sensori integrasi menekan stimulasi pada 3 indera utama, yaitu Taktil, Vestibular, dan Proprioseptif. Ketiga sistem sensori ini memang tidak terlalu familiar dibandingkan indera pengelihatan dan pendengaran, namun sistem ini sangat penting karena membantu interpretasi dan respons anak terhadap lingkungan.

Sistem Taktil
Sistem taktil merupakan sistem sensori terbesar yang dibentuk oleh reseptor di kulit, yang mengirimkan informasi ke otak terhadap rangsangan cahaya, sentuhan, nyeri, suhu dan tekanan. Hipersensitive terhadap sistem taktil disebut Tactile Defensiveness, dapat menimbulkan mispersepsi terhadap sentuhan yang responnya adalah menarik diri saat disentuh, menghindari kelompok orang, menolak makanan tertentu, serta menggunakan ujung jari untuk memegang benda-benda tertentu. Bentuk hiposensitif terhadap sistem taktil berupa kurang sensitif terhadap nyeri, suhu, atau perabaan suatu obyek. Anak akan mencari stimulasi yang lebih dengan cara menabrakan diri ke orang lain atau mainan atau dengan mengunyah benda.

Sistem Vestibular
Sistem ini terletak pada telinga dalam (kanal semisirkular) dan mendeteksi gerakan serta perubahan posisi kepala. Sistem vestibular adalah dasar tonus otot, keseimbangan, dan koordinasi bilateral. Anak yang hipersensitive terhadap sistem ini akan merespons fight atau flight sehingga anak akan takut atau lari dari orang lain, takut terhadap gerakan sederhana, berada dalam mobil, menolak untuk digendong, naik lift atau eskalator dan sering terlihat cemas. Hiposensitive terhadap sistem ini anak akan cenderung mencari aktivitas tubuh yang berlebihan dan disengaja seperti memutar-mutar tubuh, berayun-ayun dalam waktu lama atau bergerak terus menerus.

Sistem Proprioseptif
Sistem proprioseptif terdapat pada serabut otot tendon, dan ligamen yang memungkinkan anak secara tidak sadar mengetahui posisi dan gerakan tubuh. Kemampuan motorik halus sangat bergantung pada sistem ini. Tanda disfungsi pada sistem ini adalah clumsiness atau kecenderungan untuk jatuh, postur tubuh yang aneh, makan yang berantakan, dan kesulitan memanipulasi objek kecil. Hipersensitive pada sistem ini menyebabkan anak mempunyai kewaspadaan tubuh yang rendah. Hiposensitif terhadap sistem proprioseptif menyebabkan anak suka menabrak benda, menggigit atau membentur-benturkan kepala.

Efektivitas Terapi Sensori Integrasi
Beberapa laporan kasus memperlihatkan manfaat terapi sensori integrasi terhadap perilaku anak dengan Autism Spectrum Disorder, Keterlambatan Perkembangan Pervasif, dan Retardasi Mental. Anak lebih berpartisipasi aktif pada kegiatan di sekolah dan di rumah, serta interaksi sosial menjadi lebih baik. Terapi sensori intergrasi memperlihatkan adanya manfaat untuk anak dengan retardasi mental ringan, autisme, dan gangguan pemrosesan sensori.
Meskipun dalam beberapa literatur efektivitas terapi SI dinyatakan tidak lebih baik daripada terapi alternatif, akan tetapi beberapa penelitian membuktikan bahwa efektivitas terapi SI berhasil pada anak-anak dengan retardasi mental ringan, autism spectrum disorder dalam mengoptimalkan pemrosesan sensori dan respons motorik. Penelitian juga menunjukkan terapi sensori integrasi ini juga efektif pada anak ADHD dalam mengurangi kesulitan pada gangguan Sensory Motor Disorder (SMD).


Terapi sensori integrasi banyak digunakan untuk tata laksana anak dengan gangguan perkembangan, belajar, maupun perilaku. Elemen inti terapi sensori integrasi yang terdiri dari 10 elemen, belum diterapkan pada sebagian besar (94%) penelitian yang menggunakan prinsip terapi sensori integrasi. Penelitian yang lebih baru menunjukkan adanya manfaat dari terapi Sensori Integrasi untuk anak dengan retardasi mental ringan, autisme dan gangguan proses sensori.

0 komentar:



Posting Komentar