Rumah Baru, Full time employee & Hamil!!

iihh,, hampir lupa berbagi kebahagiaan tentang rumah baru, fulltime employee dan hamil!! mulai dari mana yaa?? :D

rumah baru dulu deh..
tanggal 9 Feb 2011 akhirnya bisa pindah juga ke rumah baru nun di Citra Indah cileungsi sanah. tepat 6thn sejak resepsi pernikahan dulu. hehehe.. long journey yaa.. tapi gak papa lah! daripada gak punya rumah samsek. semua orang kaget, "chi, yakin lo? jauh loh cileungsi itu" yaa... abis mau gimana lagi? moso mau nebeng terus sama ortu? setelah di jalani 1 bulan lebih, terbiasa juga akhirnya. perjalanan pergi kantor bareng suami, jam 5 pagi.. sampe cilandak jam 6.. tidur dulu 1 jam dirumah cilandak, trus ke kantor di mampang naik motor... sampe ontime tuh. bukan suatu yang susah ternyata. perjalanan pulang juga paling lama 1jam 15menit itu juga karena mampir pipis dulu di cibubur square (tempat paporit untuk pipis). hehehehe..
sukuran rumah baru tgl 12 Feb 2011 cuma ngundang tetangga aja bikin nasi box juga gak banyak2 kok cuma 30dus. sederhana yang penting esensinya dapet. temen2 gak dipanggil berhubung buanyaakk buanget jadinya di bagi2 deh.. 19 Feb 2011 temen letting, minggu depannya X4C, minggu depannya lagi TM. jadi lah tiap minggu rumah di citra indah ruame sama temen2 yang datang berkunjung. heheheh.. thanks all! biar kate jauh, tetep di datengin.

fulltime employee..
sekarang masalah fulltime employee.. sepele sih sebenernya, tapi gimannaa gitu.. dpt perusahaan yang not bad-lah menurut gue. tunjangan kesehatan dapet.. itu yang paling penting. hehehe! resmi as a fulltime employee di tgl 25Feb 2011. tapi ttd SKnya baru2 ini aja nih... wokeyyy!! perusahaan kredit mobilll kami dataaanngggg!! niat bener deh mau dpt SK buat persyaratan kredit mobil hohohoho... abis gimana emang kagak punya mobil yak..

Hamill!!
nah ini nih gong-nya!! awalnya gak ngitungin haid terakhir kapan.. (maklum anak kedua, gak aware lagi! :p) pas temen2 kantor udah mulai haid kok gue kagak ya? nah loh.. tes pek ah. muncul 2 garis tapi 1nya samar, ke dokter hari senin malem, gak keliatan kata dokternya. beli tespek lagi deh yang model baru bukan yang strip.. eehh... bener deh tuh.. muncul 2 garis! hmm bener, hamil nih kayaknya. alhamdulillah.. dikasih rejeki sama Alloh SWT. jumatnya ke dr. Ridwan di KMC, USG transvaginal dan deng..deng.. keliatan deh tuh calon adiknya Keenan. masih 0,55cm.. masih cuiliikkk banget! alhamdulillah.. alhamdulillah..  HPL 18 November 2011
doakan aman lancar sehat sempurna yaa... ^^ 

Dikutip dari buku"Smart Patient" (karya dr.Agnes Tri Hajaningrum) -------- NICE STORY

Dikutip dari buku"Smart Patient" (karya dr.Agnes Tri Hajaningrum)

Tulisan ini hasil karya seorang dokter Indonesia, Nice reading....
  
Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus.
Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu
mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau.
Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku tergores-gores rasanya.
Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa
mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.

Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam
tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart
(dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya. ―Just wait and see. Don’t forget to
drink a lot. Mostly this is a viral infection.‖kata dokter tua itu. ―Ha? Just
wait and see? Apa dia nggak liat anak ku dying begitu?‖batinku meradang.
Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga
hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga
enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.



―Obat penurun panas Dok?‖tanyaku lagi. ―Actually that is not necessary if the
fever below 40 C.‖Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku
kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung?” Kesalku kian membuncah. Tapi aku tak
ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi
Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain.
Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa
setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.

Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga
bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait
and see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap
hingga hari ke tujuh. ―Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok,‖kataku. Lalu si
dokter menekan-nekan perut anakku. ―Apakah dia sudah minum suatu obat?‖Aku
mengangguk. ―Ibuprofen syrup Dok,‖jawabku. Eh tak tahunya mendengar jawabanku,
si dokter malah ngomel-ngomel,‖Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja
dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak,
karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri
paracetamol saja.‖Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah,
tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas
kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu
bertebaran! Batinku meradang.
 
Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung
menjadi korban kekesalanku.‖Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat
penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq,
tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih.
Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol.
Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!‖Seperti rentetan peluru,
kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.‖Mana Malik nggak dikasih apa-apa
pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40
derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!‖Suamiku
menimpali,‖Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke
dokternya?‖Aku menarik napas tak panjang.―Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si
dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?‖

Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku
lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten
di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya
secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling
keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi
ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas
beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya
pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia
hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota
di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda
pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa
yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek
sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter
senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!

Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku
ikut-ikutan sakit. Suara ―Srat..srut..srat srut‖dari hidungnya bersahut-sahutan.
Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya
menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya
dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia
memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau
pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang
seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi
batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja.

Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu
mengecewakan aku. ―Just drink a lot,‖katanya ringan. Aduuuh Dook! Tapi anakku
tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal. ―Apa
nggak perlu dikasih antibiotik Dok?‖tanyaku tak puas. ―This is mostly a viral
infection, no need for an antibiotik,‖jawabnya lagi. Ggrh…gregetan deh rasanya.
Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih
obat. Paling enggak kasih vitamin keq! kesahku dalam hati.‖Lalu Dok, buat
batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan,‖kataku ngeyel.
Dengan santai si dokterpun menjawab,‖Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di
toko obat juga banyak koq.‖

Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu
pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat
Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu. ―Kenapa sih negara ini,
katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini.‖Aku masih saja sering
mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki
waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara
berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya
langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi
dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran,
tapi aku malah tidak pede mengobati anak-anakku sendiri. Dan walaupun
anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak
seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak.
Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke
dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang
antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.

Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi.
Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia
sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir
tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku
membawanya ke huisart. ―Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya
Dok.‖Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan
lubang hidungnya, huisartku menjawab,‖Nothing to worry. Just a viral
infection.‖Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection
seh! Lagi-lagi aku sebal.

―Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,‖aku
ngeyel seperti biasa. Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum.
―Do you know how many times normally children get sick every year?‖Aku terdiam.
Tak tahu harus menjawab apa. ―enam kali,‖jawabku asal. ―Twelve time in a year,
researcher said,‖katanya sambil tersenyum lebar. ―Sebetulnya kamu tak perlu ke
dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat,‖sambungnya. Glek! Aku cuma bisa
menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang
ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah?Dimana salahnya? Ah
sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini
kurang belajar.

  Kesalahan Paradigma

Lalu, setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai
berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan
Darmansyah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya
begini: ―Batuk - pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 bulan
sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke
dokter bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun.‖Wah persis
seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering
sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.

―Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam
penanganannya,‖Lanjut artikel itu. ―Pertama, pengobatan yang diberikan selalu
mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk-pilek dengan atau tanpa demam
disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak,
antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga
keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi
imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit
setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi. Lingkaran setan ini: sakit –>
antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu
panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun.‖

Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana
saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada
anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke
dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak
percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda ‗dipaksa‘ tak lagi pernah
mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi
anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal
kedatangan saja mereka sakit.

Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansyah. Dan
di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata ‗pengobatan rasional‘.
Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan
rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Aku terlalu sibuk mengurus
keluarga rupanya? Jadi, apa yang selama ini kulakukan—tidak meneliti baik-baik
obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun
panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak
mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik
dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin—
rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm...kalau begitu,
terlepas dari kekurangan yang pasti juga ada, sistem kesehatan di Belanda adalah
sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.

Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif
menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat,
ibuprofen dipakai secara luas untuk anak-anak. Tetapi karena resiko efek
sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun
obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak
diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai
obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. ―Duh, untung ya Yah aku
nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter.
Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe,‖kataku pada
suamiku.

***

Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara
terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang
terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk
kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif
‗terlindungi‘ dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang
tinggal di kota besar— yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan
pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran
oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke
dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat,
biasanya kita malah ngomel-ngomel, ‗memaksa‘ agar si dokter memberikan obat.
Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter
‗menjual‘ obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang
mengiklankan suatu produk obat.

Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap
memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek,
demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior.
Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya
pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak
perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug,
resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?

Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan
tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan
aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak
menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan
tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para
orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai
keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang
raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!

Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan
kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari
dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya ‗hanya‘ untuk konsultasi,
memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan
diriku bahwa anakku baik-baik saja. Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang
masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter
malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku juga sadar
sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum
berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas ‗beraksi‘ tanpa ada peraturan dan
hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun ‗bebas‘ meresepkan obat apa saja
tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia
saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.

Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung
pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi
tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan?
Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus
berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan
pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang
pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak
punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien
‗bergerak‘, masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat
yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.

say YES! to GAMBARU!!!

Memang agak panjang, tapi baik sekali untuk dibaca.
Ditulis oleh seorang mahasiswi yg tinggal Jepang:
------------------------------

Say YES to GAMBARU!
By Rouli Esther Pasaribu

Terus terang aja, satu kata yang bener2 bikin muak jiwa raga setelah tiba di
Jepang dua tahun lalu adalah : GAMBARU alias berjuang mati-matian sampai
titik darah penghabisan.

Muak abis, sumpah, karena tiap kali bimbingan sama prof, kata-kata penutup
selalu :

motto gambattekudasai (ayo berjuang lebih lagi), taihen dakedo, isshoni
gambarimashoo (saya tau ini sulit, tapi ayo berjuang bersama-sama),
motto motto kenkyuu shitekudasai (ayo bikin penelitian lebih dan lebih
lagi).

Sampai gw rasanya pingin ngomong, apa ngga ada kosa kata lain selain
GAMBARU? apaan kek gitu, yang penting bukan gambaru.

Gambaru itu bukan hanya sekadar berjuang2 cemen gitu2 aja yang kalo males
atau ada banyak rintangan, ya udahlah ya...berhenti aja.

Menurut kamus bahasa jepang sih,gambaru itu artinya : "doko made mo nintai
shite doryoku suru" (bertahan sampai kemana pun juga dan berusaha
abis-abisan)
Gambaru itu sendiri, terdiri dari dua karakter yaitu karakter "keras" dan
"mengencangkan".

Jadi image yang bisa didapat dari paduan karakter ini adalah "mau sesusah
apapun itu persoalan yang dihadapi, kita mesti keras dan terus mengencangkan
diri sendiri, agar kita bisa menang atas persoalan itu"(maksudnya jangan
manja, tapi anggap semua persoalan itu adalah sebuah kewajaran dalam hidup,
namanya hidup emang pada dasarnya susah, jadi jangan ngarep gampang,
persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru, titik.). Terus terang
aja, dua tahun gw di jepang, dua tahun juga gw ngga ngerti, kenapa orang2
jepang ini menjadikan gambaru sebagai falsafah hidupnya.

Bahkan anak umur 3 tahun kayak Joanna pun udah disuruh gambaru di
sekolahnya, kayak pake baju di musim dingin mesti yang tipis2 biar ngga
manja terhadap cuaca dingin, di dalam sekolah ngga boleh pakai kaos kaki
karena kalo telapak kaki langsung kena lantai itu baik untuk kesehatan,

sakit2 dikit cuma ingus meler2 atau demam 37 derajat mah ngga usah bolos
sekolah, tetap dihimbau masuk dari pagi sampai sore, dengan alasan, anak
akan kuat menghadapi penyakit jika ia melawan penyakitnya itu sendiri.

Akibatnya, kalo naik sepeda di tanjakan sambil bonceng Joanna, dan gw
ngos2an kecapean, otomatis Joanna ngomong : Mama, gambare! mama faitoooo!
(mama ayo berjuang, mama ayo fight!).

Pokoknya jangan manja sama masalah deh, gambaru sampe titik darah
penghabisan it's a must!

Gw bener2 baru mulai sedikit mengerti mengapa gambaru ini penting banget
dalam hidup, adalah setelah terjadi tsunami dan gempa bumi dengan kekuatan
9.0 di jepang bagian timur.

Gw tau, bencana alam di indonesia seperti tsunami di aceh, nias dan
sekitarnya, gempa bumi di padang, letusan gunung merapi....juga bukanlah hal
yang gampang untuk dihadapi. Tapi, tsunami dan gempa bumi di jepang kali
ini, jauuuuuh lebih parah dari semuanya itu. Bahkan, ini adalah gempa bumi
dan tsunami terparah dan terbesar di dunia.

Wajaaaaaaar banget kalo kemudian pemerintah dan masyarakat jepang panik
kebingungan karena bencana ini. Wajaaaaar banget kalo mereka kemudian mulai
ngerasa galau, nangis2, ga tau mesti ngapain.

Bahkan untuk skala bencana sebesar ini, rasanya bisa "dimaafkan" jika
stasiun-stasiun TV memasang sedikit musik latar ala lagu-lagu ebiet dan
membuat video klip tangisan anak negeri yang berisi wajah-wajah korban
bencana yang penuh kepiluan dan tatapan kosong tak punya harapan.

Bagaimana tidak, tsunami dan gempa bumi ini benar-benar menyapu habis
seluruh kehidupan yang mereka miliki. Sangat wajar jika kemudian mereka
tidak punya harapan.

Tapi apa yang terjadi pasca bencana mengerikan ini?

Dari hari pertama bencana, gw nyetel TV dan nungguin lagu-lagu ala ebiet
diputar di stasiun TV. Nyari-nyari juga di mana rekening dompet bencana
alam. Video klip tangisan
anak negeri juga gw tunggu2in. Tiga unsur itu (lagu ala ebiet, rekening
dompet bencana, video klip tangisan anak negeri), sama sekali ngga disiarkan
di TV. Jadi yang ada apaan dong?

Ini yang gw lihat di stasiun2 TV :

1. Peringatan pemerintah agar setiap warga tetap waspada

2. Himbauan pemerintah agar seluruh warga jepang bahu membahu menghadapi
bencana (termasuk permintaan untuk menghemat listrik agar warga di wilayah
tokyo dan tohoku ngga lama-lama terkena mati lampu)

3. Permintaan maaf dari pemerintah karena terpaksa harus melakukan pemadaman
listrik terencana

4. Tips-tips menghadapi bencana alam

5. nomor telepon call centre bencana alam yang bisa dihubungi 24 jam

6. Pengiriman tim SAR dari setiap perfektur menuju daerah-daerah yang
terkena bencana

7. Potret warga dan pemerintah yang bahu membahu menyelamatkan warga yang
terkena bencana (sumpah sigap banget, nyawa di jepang benar-benar bernilai
banget harganya)

8. Pengobaran semangat dari pemerintah yang dibawakan dengan gaya tenang dan
tidak emosional : mari berjuang sama-sama menghadapi bencana, mari kita
hadapi (government official pake kata norikoeru, yang kalo diterjemahkan
secara harafiah : menaiki dan melewati) dengan sepenuh hati

9. Potret para warga yang terkena bencana, yang saling menyemangati :
*ada yang nyari istrinya, belum ketemu2, mukanya udah galau banget, tapi

tetap tenang dan ngga emosional, disemangati nenek2 yang ada di tempat
pengungsian : gambatte sagasoo! kitto mitsukaru kara. Akiramenai de (ayo
kita berjuang cari istri kamu. Pasti ketemu. Jangan menyerah)

*Tulisan di twitter : ini gempa terbesar sepanjang sejarah. Karena itu, kita
mesti memberikan usaha dan cinta terbesar untuk dapat melewati bencana ini;

Gelap sekali di Sendai, lalu ada satu titik bintang terlihat terang. Itu
bintang yang sangat indah. Warga Sendai, lihatlah ke atas.

Sebagai orang Indonesia yang tidak pernah melihat cara penanganan bencana
ala gambaru kayak gini, gw bener-bener merasa malu dan di saat yang
bersamaan : kagum dan hormat banget sama warga dan pemerintah Jepang.

Ini negeri yang luar biasa, negeri yang sumber daya alamnya terbatas banget,
negeri yang alamnya keras, tapi bisa maju luar biasa dan punya mental sekuat
baja, karena : falsafah gambaru-nya itu.

Bisa dibilang, orang-orang jepang ini ngga punya apa-apa selain GAMBARU.

Dan, gambaru udah lebih dari cukup untuk menghadapi segala persoalan dalam
hidup.

Bener banget, kita mesti berdoa, kita mesti pasrah sama Tuhan.

Hanya, mental yang apa-apa "nyalahin" Tuhan, bilang2 ini semua kehendakNya,

Tuhan marah pada umatNya, Tuhan marah melalui alam maka tanyalah pada rumput
yang bergoyang.....

I guarantee you 100 percent, selama masih mental ini yang berdiam di dalam
diri kita, sampai kiamat sekalipun, gw rasa bangsa kita ngga akan bisa maju.

Kalau ditilik lebih jauh, "menyalahkan" Tuhan atas semua bencana dan
persoalan hidup, sebenarnya adalah kata lain dari ngga berani
bertanggungjawab terhadap hidup yang dianugerahkan Sang Pemilik Hidup.

Jika diperjelas lagi, ngga berani bertanggungjawab itu maksudnya : lari dari
masalah, ngga mau ngadepin masalah, main salah2an, ngga mau berjuang dan
baru ketemu sedikit rintangan aja udah nangis manja.

Kira-kira setahun yang lalu, ada sanak keluarga yang mempertanyakan, untuk
apa gw menuntut ilmu di Jepang. Ngapain ke Jepang, ngga ada gunanya, kalo
mau S2 atau S3 mah, ya di eropa atau amerika sekalian, kalo di Jepang mah
nanggung. Begitulah kata beliau.

Sempat terpikir juga akan perkataannya itu, iya ya, kalo mau go
international ya mestinya ke amrik atau eropa sekalian, bukannya jepang ini.
Toh sama-sama asia, negeri kecil pula dan kalo ga bisa bahasa jepang, ngga
akan bisa survive di sini.

Sampai sempat nyesal juga,kenapa gw ngedaleminnya sastra jepang dan bukan
sastra inggris atau sastra barat lainnya.

Tapi sekarang, gw bisa bilang dengan yakin sama sanak keluarga yang
menyatakan ngga ada gunanya gw nuntut ilmu di jepang. Pernyataan beliau
adalah salah sepenuhnya.

Mental gambaru itu yang paling megang adalah jepang. Dan menjadikan mental
gambaru sebagai way of life adalah lebih berharga daripada go international
dan sejenisnya itu.

Benar, sastra jepang, gender dan sejenisnya itu, bisa dipelajari di mana
saja. Tapi, semangat juang dan mental untuk tetap berjuang abis-abisan biar
udah ngga ada jalan, gw rasa, salah satu tempat yang ideal untuk memahami
semua itu adalah di jepang.

Dan gw bersyukur ada di sini, saat ini. Maka, mulai hari ini, jika gw
mendengar kata gambaru, entah di kampus, di mall, di iklan-iklan TV, di
supermarket, di sekolahnya joanna atau di mana pun itu, gw tidak akan lagi
merasa muak jiwa raga.

Sebaliknya, gw akan berucap dengan rendah hati :
Indonesia jin no watashi ni gambaru no seishin to imi wo oshietekudasatte,
kokoro kara kansha itashimasu. Nihon jin no minasan no yoo ni, gambaru
seishin wo mi ni tsukeraremasu yoo ni, hibi gambatteikitai to omoimasu.

(Saya ucapkan terima kasih dari dasar hati saya karena telah mengajarkan
arti dan mental gambaru bagi saya, seorang Indonesia. Saya akan berjuang
tiap hari, agar mental gambaru merasuk dalam diri saya, seperti kalian
semuanya, orang-orang Jepang).

Say YES to GAMBARU!